Bang Jontek
Bang Jontek
Bang jontek. seorang lelaki paruh baya yang bekerja demi memenuhi nafkah bagi istri dan kedua anaknya. bang jontek panggilanya, tak tahu pasti siapa namanya, sering kali ia bercerita menyebut namanya Jontek, dengan gaya yang khas yang sok gaul padahal umurnya tak lagi muda, mungkin sudah hampir kepala 4.
Bekerja disebuah perusahaan besar yang memproduksi telur ayam untuk ditetaskan. Iya bekerja cabang perusahaan yang berada dilampung, tepatnya di bawah kaki gunung tanggamus. Perusahaan ini walaupun bisa dibilang perusahaan besar, tapi pada dasarnya adalah memelihara ayam untuk diambil telurnya kemudian ditetaskan untuk jadi anak ayam yang dibesarkan orang-orang hingga jadi ayam potong yang siap saji dimeja makan.
Dasarnya disini itu kandang ayam, tak ada bedanya seperti kandang ayam yang kau tahu, bau. Tapi ada yang perlu kau tahu, disini bukan bau kotoran ayam, tapi bau uang. Bau itulah yang setiap hari dihirup melewati hidung itu. Walaupun kandang memiliki sistem canggih, dengan kipas-kipas raksasa yang berputar 24 jam tanpa henti. Kipas itu menyedot bau dalam kandang, tapi tetap bau itu seolah dirindukan. Seperti biasa, setiap pagi, padahal masih berkabut dan beriringan dengan dingin. Ia, bang jontek sudah melesat meninggalkan rumah, menunju kandang.
Kandang ayam disini bukan sembarang kandang ayam, kau perlu mandi 2 kali untuk bertemu ayam,. Kata manajer kandang disini menjaga keamanan dan kebersihan, mereka tak mau ayamnya sakit karena penyakit yang kalian bawa dari luar kandang ini. jadi, setiap pintu gerbang setiap pekerja harus melewati sebuah lorong shower mandi. kau harus tinggalkan pakaianmu dan kenakan pakaian khusus kandang. Pakaianya sama seperti pakaian napi, tak ada beda mungkin berbeda karena kakimu tak terikat, tapi disini seolah seperti sebuah penjara. Semua orang memasuki area kandang menggunakan pakaian khusus.
Pagi itu, masih terbilang sepi, tapi bang jontek, pekerja yang mengaku raji telah sampai di kandang dengan tepat waktu. Sedikit mengobrol dengan kawan sebelahnya yang juga sama-sama datang cepat pada hari itu.
"apalah kita ini, sok-sokan pagi-pagi sudah sampai kandang ayam yang bau ini," kata bang jontek.
"apa maksudmu bang ?" tanya tisna, rekan kerja, ah atau yang bisa dibilang teman sesama, senasib dan sepenanggungan, hanya saja tisna ini lebih muda. Iya jauh-jauh dari tanah sunda merantau ke pulau ini demi mencari penghidupan. Tidak seperti bang jontek yang sejak kecil lahir di tanah ini, setelah besar ia merantau ke pulau jawa, tapi malah pada akhirnya ia tidak berhasil dan malah pulang bawa bini. kini ia kerja di perusahaan yang tak jauh dari rumah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
" bukanya jadi pegawai itu harus rajin, apalagi pegawai rendahan seperti kit ini"
" aih, tau apa kau ini anak kecil ? disini itu yang rajin cuman saya" kata bang jontek sesombongan akuh sok bergaya,
" sudahlah ga usah kau banyak cakap (ngomong ga jelas) mending kau hidupkan mesin pakan ini, biar mesinya berputar, ayamnya bisa makan. Setelah itu kau ambil baki telur ini ayo kita ambil telur-telur itu, sudah tak sabar aku" perintah bang jontek.
Beginilah, kisah pegawai yang bisa dibilang buruh tapi mereka karyawan diperusahaan. mereka dilindungi undang-undang dan juga jaminan keselamatan kerja. Mereka dibayar dengan rupiah, berdasarkan UMP (upah minimum pekerja) wilayah tersebut. Lain dari pad itu mereka punya tanggung jawab untuk pekerja sesuai waktu dan standar perusahaan. Berangkat pagi dan Jumlah bayaran mereka tak terlalu banyak, tak lebih dari cukup untuk membeli beras untuk makan anak bini dirumah.
Apalah yang bisa dibanggakan jadi pekerja macam bang jontek, kerja keras tak pernah henti tapi tetap saja gaji masih kurang. buat bayar seragam sekolah anak saja pusing padahal tak seberapa sering ia membelikanya, barang setahun 2 kali saja.
Dilain kisah, hidup bang jontek ini serba bahagia, sebenarnya bukan bahagia yang yang terjadi, tetapi ia berusaha untuk tak memikirkan kesusahanya. Tentang sebatang rokok, selinting tembangkau dan peluh keringat. Jangankan untuk membeli sebungkus, sebatang saja ia membelinya dengan peluh keringat. ya, pilu memang tapi inilah kenyataan. Setiap hembusan asap itu menjadi begitu berarti. Bukan sok keren gaya-gayaan, tapi ia menghisapnya untuk mengeluarkan segala masalahnya , menghilangkan penat. Segelas kopi berasa begitu pas pahitnya, bukan karena pahitnya tak benar-benar pahit tapi kalah pahit dengan cerita dan masalah yang dia hadapi.
Setelah selesai mengambil telur, tugas mereka adalah memilah telur-telur yang bersih, sedangkan yang rusak disendirikan. Perusahaan ini tak mau rugi, telur yang bentuknya tidak bisa ditetaskan dijual dengan harga konsumen murah, untuk konsumsi, barangkali untuk membuat roti. Telur-telur ukuran jumbo, telur retak, juga telur yang bentuknya tidak normal disini masih laku dijual, semuanya bisa jadi duit.
" aih!, mana ini telur jumlahnya sedikit sekali" kata bang jontek.
"sabar lah bang," tegas tisna.
" sabar-sabar, mana bisa saya sabar, kerja tak semangat betul hari ini"
" iya benar bangm harusnya ini masa puncak produksi, ini seolah ayamnya enggan bertelur"
Beberapa hari yang lalu, memang kandang ayam ini di rundung penyakit, malang nian, ayamnya harus meminum air campur obat antibiotik agar lekas sembuh. Penyakit tersebut berdampak pada produksi telur yang semakin menurun. Bang jontek baru kali ini menghadapi setelah hampir 12 tahun iya bekerja di kandang ini. Kandang yang menghidupinya.
" pusing, palak ini telur ga ada kerja jadi ga semangat"
" aih bang, ga usaha dipikirkan, "
" ga dipikirkan bagaimana, kau jangan mengada ada" jawab bang jontek yang dari tadi emosi terus.
Walaupun gajinya kecil, perasaan memiliki perusahaan ini begitu mendalam baginya, ya, dari mana lagi penghidupanya bilamana perusahaan ini nanti gulung tikar dan ia tak punya pekerjaan. Akankah dia menganggur dan menjadi miskin lagi. sudah pahit rasanya mengenang perjuanganya yang terus meneru gagal selama dia bekerja diluar perusahaan ini. Waktu sudah menunjukan pukul 9, waktunya untuk mengambil telur kembali.
Setelah beberapa waktu mereka mengambil telur dalam kandang, kembali lah mereka dan menuju ruang pemilahan.
Bang jontek sedang berdiri termenung di ruang pemilahan telur, menatap telur yang beberapa rak tertumpuk didepanya. kemudian, tisna datang membawa rak telur yang juga cuman beberapa tumpuk. dan membuka pintu dengan menutup tanpa perasaan.
"dok!" suara hentakan pintu kandang yang menutup secara kencang mengaggetkan bang jontek. membangunkanya dari diamnya.
" aih, bang dikit banget ini telur hari ini. " kata tisna.
" iya, bener tis, dikit banget, jadi ga semangat kerja hari ini" kata bang jontek yang memikirkan hal yang sama.
" aih, bang, tapi biasa aja kali ga usah sedih gitu" lanjut tisna,
Wajah bang jontek seolah bukan sedih lantaran telur yang diambilnya sedikit, melainkan ada hal lain yang membuatnya menjadi seperti itu. Ya, ia teringat, beberapa minggu yang lalu ia kehilangan motor. dicuri orang, diambil tanpa izin, saat iya berkunjung ke kerabatnya yang di daerah kotaagung, daerah itu 20 kilometer dari rumahnya, memang cukup sepi disana hanya kebun-kebun duren dan ladang sayur. Motornya hilang diambil orang, begitu malang nasib bang jontek. Jerih payah kerjaa bertahun-tahun hingga pada akhirnya diambil orang,
" bukanya hari ini gajian bang, kenapa muka mu ditekuk lutut bermuka masam, banyak sedikitnya telur ini bukan urusan kita bang, tak usah terlalu dipikirkan. Yang penting kita kerja sesuai standar, dan mengikuti perintah"
" aih, kau ini anak kecil tahu apa?" sahut bang jontek dengan nada khasnya, tetiba mukanya menjadi lebih cerah.
" aku keinget motorku yang hilang diambil maling, " kata bang jontek.
" duh bang, sudahlah bang diiklashkan saja" kata tisna mencoba meredakan,
" kau pikir kalo iklash motorku itu akan kembali ? engga kan, dasar jongos"
" haha. nasib bang, sudahlah, untung nyawa mu ga ilang"
" kamu doain saya mati!, dasar anak kecil tahu apa!?" matanya melotot
obrolan ini bukan obrolan orang yang marah-marah lantaran diambil motornya, kalimat bang jontek memang seperti itu, kasar, tak berpendidikan terkadang menyayat hati, tapi ia jujur. Dan sering buat tertawa rekan kerjanya.
" Telor cuman dapet sedikit, pusing saya, mana kerja mu?"
" ya gini, kalo sama bang jontek, niat baik dimatamu itu ga pernah ada yang baik."
" aih, kerja ga bener!, " bang jontek melanjutkan ocehanya.
" apasih yang bener bang menurutmu? " tanya tisna melanjutkan perbincangan sembari mereka memilah telur yang akan dikirim kepenetasan.
Dihentikanya pekerjaan memilah telur itu kemudian bang jontek melihat ke wajah tisna.
" aih, masih aja tanya!" disini yang benar kerjanya itu cuman saya!, apalagi mbah wagiran itu, aih bisa apa dia, kerjanya kaya bekicot" lanjut bang jontek.
Diruang itu, mereka bekerja tidak berdua, ada satu orang lagi rekan kerja mereka yang lebih senior, ya umurnya mungkin tak jauh berbeda, hanya saja mereka memanggilnya "mbah" lantaran dia sudah punya cucu. Namanya mbah wagiran, masih kuat badanya, orangnya pendiam, dan sabar juga berbicara kalau ada perlunya, tak seperti bang jontek dan tisna yang kerjanya hanya meracau saja. Pantas saja mbah wagiran ini di amanahi sebagai kepala kandang, mungkin karena dia lebih bijak sana dibanding rekanya. Mbah wagiran sangat jarang menanggapi bang jontek, sudah tahu itu hanya gurauan. ia bekerja sudah lebih dari 10 tahun bersama bang jontek, sudah hafal betul setiap celotehanya.
Setelah bekerja setengah hari, tibalah pada jam 11.30, mereka kemudian mengambil telur. Masih dengan cerit hari ini banyak kisah yang mereka bagi bersama. Berlanjutlah pada setelah jam makan siang.
Cerita menghayal bang jontek.
Kadang saya kasian liat anak saya, berangkat pagi buta jam 6.15 sudah berangkat ke sekolah, berangkat ke sekolah 20km jauhnya di sekolah menengah atas kota sebelah. Setengah jam dari sini naik angkot. Anakku pulang jam 3, sampe rumah bersih-bersih, cuci-cuci baju, terus habis magrib dia belajar buka buku.
Saya tau kerjanya bikin karya tulis, menulis karya-karya ilmiah. Kemarin cari tahu gimana caranya bikin tempe, bikin oncom. Bikin oncom itu mulai dari adonan, kukus, terus cetakan, saya foto, eh sampe pas akhir udah dicetak ga jadi, nasib lah malang benar. Akhirnya saya suruh dia beli diwarung, yang sudah jadi terus taruh di loyang untuk difoto, jadilah karya tulisnya.
bersambung.
cerpen, cerita pendek, cerita bersambung. cerita.
Cerita menghayal bang jontek.
Kadang saya kasian liat anak saya, berangkat pagi buta jam 6.15 sudah berangkat ke sekolah, berangkat ke sekolah 20km jauhnya di sekolah menengah atas kota sebelah. Setengah jam dari sini naik angkot. Anakku pulang jam 3, sampe rumah bersih-bersih, cuci-cuci baju, terus habis magrib dia belajar buka buku.
Saya tau kerjanya bikin karya tulis, menulis karya-karya ilmiah. Kemarin cari tahu gimana caranya bikin tempe, bikin oncom. Bikin oncom itu mulai dari adonan, kukus, terus cetakan, saya foto, eh sampe pas akhir udah dicetak ga jadi, nasib lah malang benar. Akhirnya saya suruh dia beli diwarung, yang sudah jadi terus taruh di loyang untuk difoto, jadilah karya tulisnya.
Bikin tempe juga gitu, itu kan tempe pakai biang, pas taunya biangnya itu nyarilah di tempat pembuatan tempe di daerah sana, taunya juga ga jadi. Saya nganteri itu jauh-jauh buat minta ragi disana kemari.
Sebelum punya hape android anak saya sering sekali ke warnet, itu warnet belakang apotik ga jauh dari rumah. Kerjaanya tiap ada tugas kesana, kemarin saya belikan hape android, skrng tinggal kewarnet cuman buat ngeprint, ini kalo ada printer sendiri kayaknya lebih enak. cerita bang jontek tentang anaknya yang mulai beranjak dewasa.
"Kalo saya punya mimpi nyekolahin anak sampe ke sekolah perdagangan di itb sana, sekolah bisnis yang tersohor." Kata tisna menyahut cerita bang jontek.
"Aih, kau ini tisna, ga akan lah kaya. Iya kalo lo belom siaran dimasjid, ntar kalo udah siaran anak lo itu minta-kerumah gw. Minta nasi. " sahut bang jontek, dengan ketawa lepas.
"Biar dia jadi orang yang kaya bukan jadi jongos kayak bapaknya. Saya baru mimpi kamu udah ga suka, gimana lah bang."
"Mana bisa tampang-tampang kayak kamu kaya,. Makan itu mimpi." lanjut bang jontek.
"Kalo saya punya mimpi anak saya jadi orang sering mengisi seminar." Kata bang jontek
"Ya bener yang ngisi seminar, itu sales kalo ga mlm", kata tisna.
"Na, kalo lo kaya duluan dari gw, bakal nyewa maling, Sampe habisin harta lo.Tapi kalo gw yang kaya duluan, lo yang jadi pembantua gw. Kata bang jontek. " sambung bang jontek.
"Kenapa mimpi gratis aja ga usah takut." kata tisna.
"Aih kamu seminggu makan seminggu engga aja. Tisna. " sirik bang jontek.
"Inilah, Saya baru berkhayal mau mimpi kaya aja udah disirikin sama bang jontek. Kalo bang jontek kaya kaya pasti karena garong." jawab tisna.
"Nanti saya kalo sudah kaya besok saya bawa mobil, saya jemput mbah wagiran, mbah ayo kita samperin tisna, Sudah cukup miskin dia hidup, saya jadi orang kaya dia jadi gelandangan. Tisna jadi pegawai jadi jongos dirumah saya, bukain gerbang, jadi nanti kalo saya pulang. "Tisna!! bukain gerbang," tisna jawabnya "iya juragan" nah"
"Kalo nanti saya kerja di tempat bang jontek, kita bikinin kopi campur cianida aja. " kata tisna.
"mbah wagiran, tolong cariin arsitek buat rumah saya bikin lantainya dari kaca dibawahnya dikasih kolam diisi hiu. jadi nanti kalo tisna macem-macem saya masukin kolam aja. Hiunya jarang dikasih makan"
kemudian mereka tertawa terbahak-bahak, tak ada yang perlu disedihkan disini. Menghayal sesuatu yang gratis, bahkan iri kepada orang yang baru menghayal pun disini menjadi sesuatu yang lazim. Namanya juga bermimpi gratis. Siapa saja boleh mimpi kan.
bersambung.
cerpen, cerita pendek, cerita bersambung. cerita.
terimakasih atas kritik dan saran serta komentarnya yah, :) thanks,...