Arjuna Anak Nelayan

Senin, Maret 28, 2016 0 Comments A+ a-



Bagaimana mungkin, arti hidup ini terangkum dalam 7 kalimat?, adakah kuasa kita sebagai manusia untuk menjawab pertanyaan itu, pertanyaan tentang arti hidup. Lalu dari mana mula kita menjawabnya, tak akan tahu bila kita tak pernah membacanya.


Seperti itulah malangnya kisah ini, kisah tentang seorang hamba yang hidup sebatangkara lantaran maut merenggut ayah dan ibunya bersama ombak lautan. Kisah ini menceritakan tentang seorang pemuda yang mencoba menemukan arti hidupnya.


Sudah hampir 16tahun sejak gulungan ombak itu menghancurkan kapal dan menyisakan kisah pilu. Saat itu umurnya barulah 5 tahun, bahkan baru mengenal yang namanya benda-benda, menyusun kata-kata untuk menggambarkan apa yang ia liat. Perahu itu, bau amis pantai, pasir dan batu karang bahkan baru itu yang ia kenal. Bahkan berita itu tak dipahami benar olehnya, berita tentang karamnya kapal dan hilangnya mereka ditengah lautan saat mencari ikan. Bahkan kepedihan rasanya kehilangan orang yang disayang pun belum ia pahami saat itu. Alangkah nasib sungguh memilukan jika mengingat kisah itu.



Kini ia telah tumbuh dewasa, sudah sering menelan asinya air laut. Ia seorang bujang. Hidup dipinggir laut dengan ombak yang selalu mengingatkan ia akan artinya kembali.
Sore itu, di pinggir pantai, diatas karang besar dan tajam-tajam ia berdiri diatasnya memandang laut lepas. Dirasakanya angin laut yang dingin menghampiri. Tak dihiraukanya orang-orang dipinggir pantai itu, bergerombol menunggu kapal nelayan datang membawa ikan. Ia hanya memperhatikan laut. Betapa tenang laut sore itu. Matahari benar tampak disudut perpisahan. Berpisah dari siang dan segala hiruk pikuknya. Bujang itu, masih berdiri hingga matahari terbenam tuntas di atas kilauan pantulan air laut. Warna jingga yang mengisahkan kerinduan dan mengingatkan tentang rindu kepada orang tuanya, bapak ibunya dan cinta kasih orang-orang disekelilingnya.






Kepergian mereka.



Sejak kepergian orang tuanya dalam musibah di laut itu ia diurus oleh pamannya. Seorang laki-laki paruh baya dan seorang istrinya. Meski ia memanggilnya paman tetapi sejatinya bukanlah paman dari darah keluarga, melainkan dari rasa iba dan pasrah diri. Mereka hidup berdua tapi , hingga akhirnya ia dipingit dibawa kerumah mereka, dibesarkanya dengan penuh rasa cinta.



Arjuna, nama anak laki-laki itu. Seorang anak nelayan keturunan jawa. Nama persis tokoh dalam perwayangan jawa. Memanglah orang tua mereka benar menghayati budaya jawa. Tinggal di pantai selatan, di salah satu provinsi yang menyandang gelar istimewa yang terkenal karena budayanya. Tapi, disini nyatanya ada kisah lain yang tak banyak orang tau. Disalah satu pantai di daerah yang terkenal dengan tanah kapurnya. Pantai yang begitu indah bersama obak lautan., penuh dengan nelayan yang hidup dan mencari nafkah



Paman itu, bernama ibrahim, seorang pemuka agama juga penghulu yang bekerja di departemen agama. Sejak kelulusanya di pondok pesantren di jawa timur ia merantau, mengabdikan hidupnya di pinggir pantai ini. Kini ia telah beristri orang sini. Meski memiliki cukup banyak harta lantara ia berbisnis sembako dirumahnya namun ada yang kurang. sudah 15 tahun mereka membina keluarga tetapi tak juga diberikan lahirnya buah hati dari perwakinan suci mereka. Operasi terkahir itu, kanker rahim merenggut cita-cita memiliki buah hati dari istrinya dan takan pernah bisa memiliki seorang anak dari darah mereka. Walaupun begitu, mereka tetap tegar menjalani hidup.



Sejak tinggalnya disini telah mengenal baik orang tua arjuna. Sewaktu itu orang tua arjuna masih jauh lebih muda dari paman ibrahim. Bahkan pernikahan mereka di sahkan oleh paman ibrahim. Masih ingat betul betapa gugupnya ayah arjuna saat pernikahan itu. Pernikahan dari keluarga sederhana, benar-benar sederhana. Maskawinya pun tak lebih dari seperangkat alat sholat dan beberapa lembar rupiah dan sepasang cincin perak yang tak ternilai harganya. Saat dipasangkan cincin itu betapa merah muka ayah arjuna. Sebuah ijab kabul itu serasa menggetarkan jiwa. betapa sebuah cinta itu bisa mengalahkan harta. ya, apalah yang mereka berdua miliki selain cinta. Rumah saja pemberian warisan orang tua yang telah lama meninggal. Begitu pula sang gadis, ibu arjuna. Ia yatim piatu sejak lahir, hidup bersama kakek dan nenek yang juga tak lama meninggal setelah pernikahan mereka.



Ayah arjuna orang yang baik budinya sopan perilakunya, tak heran bila ia dikenal luas dipantai itu. pantai yang mempertemukan cinta mereka berdua dan yang mengakhirinya. Mereka hidup dirumah warisan ayah arjuna. Rumah sederhana yang kini telah termakan usia, tak terurus lantaran tak ada biaya untuk merawatnya. Jangankan membeli perabot, bahkan untuk membuat tembok permanen dari batu bata saja tak mampu. Rumah nelayan seperti kebanyakan, tak ada yang istimewa, jaring laut yang selalu tergantung dipinggirnya.



Sungguh ia benar beruntung, anak laki-laki itu masih memiliki kerabat seorang paman, walaupun bukan paman kandung. paman itu juga teramat baik mau memeliharanya. Betapa baiknya, hingga arjuna sudah dianggap anak sendiri.Apa yang dimakanya itulah juga yang dimakan arjuna.



Dalam hati arjuna hanya ada satu hal yang diingat dari orang tuanya. Kasih sayang yang terpatri dalam sebuah foto ayah dan ibu bersama dirinya, foto saat ia maish berusia 2 tahun. Saat berfoto itu ibunya yang mengendongya didepan. Mereka berdua melihat kearah kamera, tapi arjuna yang tak paham apa artinya kamera itu melihat kearah lain. Yah, potrait foto itu yang menjadi sebuah ingatan tentang kasih sayang, kerindua dan cinta yang membeku dalam kertas. Walaupun ia tak lagi bersua dengan kedua oran tuanya seiring berjalanya waktu ia semakin mengenal benar apa arti perpisahan. Dalam hatinya yang penuh diisi dengan kerinduan itu selalu bersyukur karena cinta dan perjuangan kedua orang tuanya lah hingga ia bisa lahir kedunia.



Walaupun betapa kuatnya diriku terkadang aku tak kua melihat kenyataan apa yang terjadi. Melihat anak-anak lain makan bersama orang tuanya. Dalam hatinya selalu di sertai pertanyaan, Mengapa tuhan memberikan kisah ini kepadanya. Begitukah malangnya dirinya hingga tak bisa lagi melihat orang tuanya. Tetapi dalam hari-hari yang dilaluinya tak lupa ia berdoa selepas sholatnya, doa kepada orang tuanya. Rasanya setiap memandang lautan lepas dan kapal-kapal nelayan, rasa ingin meneteskan air mata. Seraya berdoa menguatkan diri untuk tetap berjuang hidup yang lebih baik.



Arjuna, dari kecil ia ditanamkan tentang ibadah. Ayahnya walaupun seorang nelayan yang tak kenal waktu, tapi selalu berusaha tepat waktu untuk menjawab panggilanNya, kewajibanya sebagai hamba. Beruntungnya juga ia dibesarkan oleh orang tua yang benar mengerti tentang agama. Diajarinya ia lebih detail tatacara beribadah kepada tuhan, lebih detail dari pada ayahnya, Jelas tentu, Hidup nelayan lebih banyak dihabiskan dilautan mencari ikan dari pada mencari pengetahuan di bangku sekolah. katanya lebih baik baik ke laut dapat ikan bisa dijual dari pada kesekolah menghabiskan uang membeli buku dan seragam.



***



Orang tua angkat



“juna!” suara perempuan paruh baya itu memanggilnya.

“ia bu” juna kecil sudah rapi dengan pecis dan baju koko dengan model anak-anak paling terbaru. Ya, setelah tinggal di rumah paman Ibrahim segala kecukupanya di penuhinya, makan, pakaian dan kasih sayang.

Sembari membenarkan kancing baju istri paman Ibrahim berkata “berangkat mengaji ya nak, juna anak baik belajar mengaji itu untuk mengenal Allah, yang memberikan kita hidup” begitulah kata yang sering dipesankanya kepada juna setiap hendak mengajai ke masjid dekat rumah. Walaupun yang mengajar adalah paman Ibrahim juga tapi arjuna kecil selalu merasa senang. Bahkan tak bosan, ketika dirumah kembali ia diajar kembali lataran masih banyak salah dalam membaca.

“ya bu, juna berangkat mengaji dulu ya” kemudian ia mencium tangan ibunya. Seorang wanita yang telah ia anggap ibu sendiri.



***

Juna kecil dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh dua orang itu. Menjelang umur 7 tahun, waktu yang tepat untuk memasukanya ke sekolah dasar. Juna menurut saja, dan ikut ke sekolah itu. Tidak jauh letaknya, dekat dengan kantor paman Ibrahim bekerja.


“ pagi bu, saya ingin memasukan anak saya ke sekolah ini. “ Tanya paman Ibrahim.

“ ya pak, ada ijasah dan rapor TKnya pak ?” Tanya ibu guru itu.
“maaf, tidak ada , kami tidak memasukanya ke TK. Tapi kami mendidiknya dirumah”

“boleh saja tidak ada ijazah TK, tapi dia harus sudah mengenal tulisan, bisa sedikit menghitung dan mengerti perintah. Karena itu syarat untuk mempermudah kami mengajarnya disini” kata ibu guru, perangainya amatlah baik. Seperti guru yang mendidik dengan hati, bukan sekedar mencari uang.

“ oh yah, tentu bu. Arjuna ini anak yang pintar, dirumah kami ajarkan membaca, menulis dan berhitung juga mengaji. ” kata paman Ibrahim sembari mengelus kepala arjuna kecil.

“Baiklah pak, kami akan menguji arjuna sebelum kami menerimanya”.

Dibawalah arjuna ke ruangan lain, mengikuti bu guru tadi. Seperti sebuah simulasi mengajar, arjuna kecil duduk dikursi dan diatas meja terdapat buku tulis. Ibu guru tadi meminta arjuna membacakan kalimat tertentu dan meminta menjawab pertanyaan. Pertanyaan hitungan mudah, yang anak kecil pun bisa menjawabnya. Arjuna berhasil melewati simulasi itu dengan baik.

“ baiklah pak, setelah ini silahkan bapak mengisi formulir pendaftaran ini” diberikanya beberapa lembar kertas yang berisi data biodiri. Sepertinya memanglah mudah mengisinya kelihatanya. Tapi, dalam hati paman Ibrahim begitu berat. Biodata diri itu ada 2, satu tentang orang tua atau wali, dan satunya tentang biodata murid didik. Tentu, biodata itu diisilah lengkap tanpa mengosongkan data wali, paman Ibrahim dengan tegas menuliskanya. Walaupun rasanya ia ingin sekali menulis sama antara biodata orang tua dan biodata wali. Tetapi rasanya begitu sejenak paman Ibrahim merasa berat. Akhirnya tuntaslah mengisi dan dikembalikanya formulir itu.

“ oh, jadi bapak orang tua angkat arjuna?” Tanya ibu guru tadi.

“ iya benar bu. Arjuna ini anak yatim piatu, saya yang menjadi walinya. Bu, kapankah arjuna mulai dapat bersekolah?” kata paman arjuna menjawab sembari kembali bertanya.

“2 minggu lagi pak, setelah bapak melunasi biaya ATK” kata bu guru itu.

“baiklah bu, saya titipkan anak saya” kata paman arjuna.

“ terimakasih atas kepercayaan bapak.”



Dilunasinya administrasi pendaftaran juga biaya ATK, kemudian diterimanya seragam dan beberapa perlengkapan buku cetak dan buku tulis serta peralanya bahkan mereka juga telah membelikan tas yang dimasukan kedalamnya. Sudah masuk dalam 1 paket pembayaran ATK ini. Bukan sekolah ini bermaksud mengkomersilkanya, memanglah sekolah ini punya Negara, dibiayai dari pajak rakyat, sudahlah menjadi rahasia umum bahwa sekolah ini memang gratis, tetapi tidak untuk seragam dan buku tambahan serta guru-guru honorer yang perlu dipekerjakan lantaran guru negeri kurang. Juga, uang itu dipergunakan sekolah untuk memberi bantuan kepada pegawai non pemerintah, seperti tukang bersih-bersih juga tukang kebun. Sudahlah tak perlu diproteskan.



Sekolahlah arjuna disana. Pagi itu, hari pertama masuk sekolah. Arjuna kecil anak yang mandiri, tetapi tak tega betul ibunya. Akhirnya pagi itu diantarkanlah ia ke sekolah pada hari pertama. Seperti pada umumnya sekolah hari pertama. Disitu juga bertemulah orang tua lain yang juga mengantarkan anak-anaknya sekolah. Mereka semua menunggui anaknya di luar, berharap cemas dan sedikit was-was, melihat anaknya dari pinggir kaca. Yang dicemaskanya apakah ia akan menangis, atau merengek minta pulang.

“ anak-anak duduk yang rapi, Assalamualaikum wr.wb” mulailah ibu guru itu mengajar. Ibuguru yang sudah banyak memakan asam garam menjadi guru. Sudah lebih 20 tahun ia mengajar sebagai guru. Sudah fasih betul ia mengendalikan murid-murid di sekolah dasar ini. Murid-murid yang bermuka lucu-lucu itu pun menurut saja dan duduk dengan rapi.

Kemeja putih itu, celana merah dan dasi kecil yang menempel dileher dengan miring-miring, ingus itu, ah namanya juga anak kecil yang baru masuk sekolah.



Diruangan kecil itu, yang tak banyak memang muridnya, hanya 20 anak. Memanglah sekolah ini di daerah pinggiran, wajarlah muridnya sedikit. Seperti pada mulanya pertemuan, mereka berkenalan di kelas ini.

“ perkenalkan nama ibu, Siti Aminah” kemudian menulis di papan tulis kapur .

“bagi yang namanya dipanggil kalian harus tunjuk jari ya, dan mengucapkan “saya bu guru”” kata bu siti mencontohkan. Dimulailah perkenalan sekelas itu satu sama lain, ibu siti memanggil nama murid-murid. Beberapa murid dipanggil namanya dan berjalan lancar. Tetap saja, meski suasana sudah mulai dapat dikendalikan, beberapa murid masih melihat kearah jendela, mencari dimana ibunya. Ketika tak dilihatnya di jendela, yang itu. Menagislah seorang murid. Kemudian pecahlah suasana kondusif itu. Ibu aminah kemudian memanggil orang tuanya. Masuklah dan didiamkalah anak itu, si Imran. Memang Imran ini penakut dan mudah menagis. Sekelas memandang Imran, beberapa malah ikut menangis beberapa diam saja. Kembali suasana semakin riuh karena tangis dan ibu mereka mendiamkanya.

“ Sudah nak, jangan menangis, ibu ga kemana-mana kok, kamu berhenti ya menangisnya” kata salah seorang ibu yang mendiamkan anaknya.

Akhirnya kelas kembali tenang dan para ibu kembali keluar.



Pelajaran pertama. Membaca. di tuliskanya di papan tulis

“Ayah pergi ke laut mencari ikan”

Begitu lah kalimat pertama yang mengingatkan arjuna kepada orang tuanya. Ia tetiba meneteskan air mata dan menangis tanpa suara tak seperti kebanyakan anak-anak seusianya.
“ Arjuna, kenapa kamu menangis?” Tanya bu guru.
“ Saya ingat ayah saya bu” kata arjuna menjawab pertanyaan bu guru.

Baiklah kalo begitu bu guru mengganti kalimat itu, saat akan menghapusya

“ tidak perlu diganti bu” kata seorang wanita diluar ruang, yang tak lain adalah ibu arjuna.

Semua orang di pinggir kelas itu menatapnya. Seorang wanita berjilbab rapi yang mengatakan untuk tidak perlu menghapus tulisan itu. Memanglah, semua orang sudah tahu bahwa ia adalah orang tua angkat arjuna, yang membesarkannya sepeninggalan kedua orang tua arjuna. Sudah menjadi cerita umum, semua orang juga tahu, dan menerimanya.



“Baikalah, murid-murid mari kita baca bersama ya.. ikuti setelah ibu guru”



Kemudian pelajaran pertama itu usai. Melihat jam sudah di pukul 10 kurang 15 menit.

Sebelum mengakhiri pelajaran hari itu, bu aminah mengatakan kepada murid-murid “mulai sekarang kalian bersekolah disini, Besok kalian boleh meminta ibu kalian untuk tidak perlu menunggu kalian disini ya”

“ baik, bu guru” jawab murid-murid serentak”



Selepas pelajaran hari itu, murid-murid menyalami bu aminah kemudian keluar dan berlari ke pelukan ibu masing masing, begitu juga arjuna. Pelajaran membaca yang begitu mengajarkan arti tegar bagi arjuna. Bertambahnya umur arjuna membuat ia mulai mengerti maksud berita yang dulu dibawa dari nelayan lain, dan masih pula mencoba ia menerima kepergian orang tuanya. Masih ingat betul ia. Tetapi, ibu yang sekarang mendekapnya selalu mengatakan bahwa kedua orang tuanya sekarang sudah bertemu Allah di syurga. Dan ia menerimanya, tak protes.



***



Bersambung.



Roti kecil.



Kisah yang masih diingatnya, waktu itu kelas 2. Jam istirahat, arjuna kecil bermain di halaman sekolah. Bermain kelereng, ya kelereng, namanya permainan ular. Dibentuklah bentuk seperti ikan, kemudian dari batas yang ditentukan mengenai kepala ikan itu, seperti ular memakan ikan yang mengenai kepalanya itu yang mengambil semua yang terdapat dibadanya.



Arjuna bermain bermain bersama teman-teman sekelasnya. Saat itu datanglah, beberapa kakak kelasnya mungkin kelas 3. Ingin mengikuti permainan. sudah memang peraturan tak tertulis untuk memainkanya harus menaruh kelereng sebagai bahan untuk diadukan, .



Permainan itu dimulai, 5 orng anak, melempar kelereng melewati batas, kemudian yang paling jauh lah yang menembak terlebih dahulu, batas itu tak jauh lah, 1 meter. Kamu boleh mendekat ke ikan dengan cara mengenai kelereng lawanmu. Kamu boleh menjadikan kelereng lawan mu sebagai tumpuan, asal jaraknya tak lebih dari sejengkal dri kelerengmu. Permainan yang penuh perhitungan. Kau juga bisa mementalkan kelereng lawan mu keluar batas hingga ia tak dapat giliran.



Arjuna kecil memang pandai dan tangkas bermain kelereng, hingga ia akhirnya mengenai kepala ikan, berhasilah ia mengalahkan lawan-lawanya, dan sudah jadi kesepakatan kelereng yang dibadan ikan itu menjadi milik pemenang. Arjuna merasa begitu girang, ia bisa memenangkan kelereng itu.



Tak terima, merasa dilecehkan oleh adik kelasnya, tetiba, rudi mendatangi arjuna, memegang baju tepat dilehernya.

" kamu ga usah sok hebat ya, baru kelas 1" kata rudi.

" apa salahku?" Tanya arjuna. Tak terlihat ketakutan di wajahnya seperti biasa saja.

" nyolot lagi" rudi menjadi semakin emosi.

Plak tamparan keras itu menghantam pipi arjuna.

Arjuna tak terima, meski ia berbadan lebih kecil dri rudi yang kakak kelasnya, ia berani melawanya. Dibalaslah ia, tendangan kaki itu nengenai perut rudi,. entah dimana mereka belajar lagaknya sudah seperti pegulat profesional, mereka berguling-guling saling tarik diatas tanah, baju putih itu sudah kotor tak dihiraukanya. Matanya sudah merah-merah mau nangis. Datanglah pelerai, seorang perempuan kakak kelas, dinda anak kelas 6 yang melihat mereka, ia melerai karena rasa sayangnya, mereka sudah dianggap seperti adik sendiri. Mana ada kakak yang membiarkan adiknya berantem seperti ini.



"Heh! Sudah cukup" kata dinda sambil menarik arjuna. Ditariknya seperti anak kucing, ditarik baju lehernya dipisahkan ia dari rudi. Tampak jelas air mata kedua anak itu.

"Pergi kamu rudi!, jangan ganggu adik kelasmu" teriak dinda dengan nada jengkel. Sudah sering ia melihat rudi berantem dengan anak lain, tapi baru kali ini ia melerainya. Ia melerai karena melihat yang diajak berantem anak yang jauh lebih kecil badanya. Tak tega benar dinda melihatnya.



Dibersihkanya baju arjuna, di tepuk-tepuklah itu celana yang penuh debu penuh tanah. Kelereng yang disakunya pun dikeluarkanya, dibuangnya diberikan ke teman rudi.

"Nih, kasih ke rudi!" Kata dinda.



Kemudian dibawanya arjuna ke Uks, tanganya lecet-lecet karena berguling ditanah-tanah.



Didudukanya arjuna di atas matras di ruang UkS. Diambilnya kapas, alkohol dan obat merah itu.

" sini mana tanganmu yang luka" kata dinda dengan nada yang dingin.

Diangkatlah tangan arjuna, tanpa patah kata pun, siku itu dibersihkanya dengan kapas beralkohol,

"Aduh" rintih arjuna,

"Mangkanya jangan berantem!" Sedikit nada tinggi Sembari melihat ke mata arjuna, ia hanya diam saja merasakan perihnya alkohol mengenai luka. Tak selamg beberapa lama kemudian perih itu datang lagi karena obat merah yang diberikan.

"Aduh, perih" rintih arjuna lagi.

"Sudah ?, mana lagi yang luka?" Tanga dinda.

"Sudah" jawab arjuna.

"Sebentar aku ambilkan plester luka, biasanya diletakan dirak p3k ini, nah ini dia" diambilah plaster luka itu. Plaster yang bergambar bunga-bunga, sepertinya ini plester edisi terbatas. Gambarnya menarik. Direkatkanlah.

" nah, udah selesai" kata dinda.

" terimakasih kak" kata arjuna.

"Siapa nama mu?" Tanya dinda.

" arjuna" jawabnya.

Kemudian mereka keluar, sampailah dilorong uks, " nama kakak siapa?" Tanya arjuna.

" nama ku dinda, sudah ya sudah bell masuk ni" kemudian dinda meninggalkan arjuna sendiri, dengan wajah yang lebih bersih dari pada saat ia bergemul dengan tanah tadi.



Arjuna matanya berbinar-binar, serasa ia baru saja di tolong bidadari. Melihat kenarah plester bunga-bunga disikunya, rasanya tak ingin luka itu sembuh, biar plesternya tak dilepas. Yang ia tahu dan ia ingat bahwa perempuan tadi baik sekali.



Sesampainya dikelas ia sampaikan ke teman-temanya ya, ia bingung bila nanti ditanya, dan ternyata memang benar ibu guru bertanya mengapa baju dan celananya kotor. " tadi guling-guling ditanah bu" "kamu berantem ya?" "Iya bu" "sudah-sudah, lain kali jangan berantem lagi" " ya bu" kalau ibu tau kamu berantem akan ibu hukum". Rasanya lega mendengar kalimat itu, tetapi juga was was, karena bisa jadi kejadian itu terulang kembali.



Sesampainya dirumah, ia kembali ditanya oleh ibunya. "Arjuna, kenapa baju dan celanamu kotor ?" "Emm, tadi arjuna berantem bu" jawab arjuna dengan gugup, lebih gugup dari pada ditanya oleh bu guru tadi. Bila bu guru yang bertanya mungkin hanya kena hukuman dan sudah, tapi bila yang tanya ibu dirumah, rasanya ada yang berbeda.

" mengapa kamu berantem arjuna?" Tanya ibu,

" tadi rudi duluan yang memukul bu" jawab arjuna, dengan nada lirih, perasaanya tak menentu, ia merasa mengecewakan ibunya.

" ada yang luka tidak?" Tanya ibu.

" ada bu, tapi tadi sudah diobati" sambil menunjukan plester bunga-bunga disikunya.

" arjuna anak ibu yang baik, berantem itu tak ada gunanya, tak ada bangga-bangganya, tak ada bagus-bagusnya, dengarkan ibu jika permasalahan bisa diselesaikan dengan berbaik-baik itu baru laki-laki namanya, bukan berkelahi dan unjuk kekuatan seperti ini, paham? "

" ya bu".

" ya sudah kamu mandi sana, terus ganti baju"



Begitulah, arjuna, ia tak pernah takut menghadapi masalah, meski ia berkelahi dan sampai luka, sejatinya ia tak ingin untuk unjuk kekuatan. Iya hanya tak ingin orang lain semena-mena kepada dirinua.



Keesokan harinya ia mencoba untuk menyelesaikan masalah dengan rudi, ia membawa sebuah roti kecil, yang dibeli ibunya.

" ini roti nanti kamu kasih ke rudi ya, bilang minta maaf" kata ibu.

Ya bu, ketika bertemu rudi ia memberikan roti itu dan meminta maaf. Ternyata rudi juga merasa bersalah, bukannya seharusnya ia menerima kekalahan, tetapi malah sebaliknya. Pada akhirnya mereka baikan dan menjadi teman.



Beberapa hari kemudian, ia juga membuat sebuah permintaan terimakasih. Ia buatkan sebuah surat dan sebungkus roti kecil. Selembar kerta dengan tulisan alakadarnya yang berbunyi

" kak dinda yang baik hatinya,

Terimalah ini sebagai rasa terimakasihku.



Arjuna"



Dinda yang menerima itu hanya bisa tertawa kecil, dan membalas langsung dengan ucapan terimakasih.



Begitulah ia, arjuna. Diajarkan untuk berlapang dada, menyelesaikan masalah dengan baik-baik.




Jatuh.



Masih teringat betul sepeda merek “mustang” berwarna hijau ukuran sepeda untuk anak kelas 3 hingga 5 SD, ketinggian sepeda maksimal 80 cm, pertama kali sepeda itu datang masihlah terbungkus plastic wrap buble, juga dibagian belakang terdapat roda tambahan 2 buah roda bantu dari plastic terpasang rapi dibagian roda belakang sebagai pengaman.



Dihalaman samping rumah yah bisa disebut parkiran kendaraan. Sepulang sekolah, betapa senangnya arjuna melihat sepeda barunya, dipandangilahsepeda itu Nampak benar matanya begitu berkaca-kacam seperti kagum melihat melihat helicopter, begitu kagum ia. Dipeganglah bagian batangan sepeda itu, dipegang peganglah sepeda itu yang masih terbungkus plastic dan karton tanda sepeda baru dari toko. Ah, padahal ia memintanya baru beberapa hari yang lalu,

“ ayah, boleh kah aku meminta dibelikan sepeda ? aku ingin punya sepeda yah, ingin bisa belajar mengendarainya” kata arjuna kepada ayahnya.

“ iya, segera ya ayah belikan, nanti kalo sudah dapat gaji bulan ini” kata ayah.

Sepeda itu kini telah ada didepanya.



Siang itu, setelah ayahnya pulang dari kantor. Arjuna kecil meminta untuk diajari mengendarai sepeda. Memang hari ini jadwal libur mengaji, cuaca juga sedang cerah tepatlah waktu untuk meminta

“ ayah ajari aku mengendarai sepeda yah”

“ mengendarai sepeda itu harus jaga keseimbangan, kamu tahu disini, kemudian ini adalah pedal gunanya untuk melaju, ini namanya stang gunanya untuk mengendalikan arah, kemudian rem tangan gunanya untuk menghentikan laju sepeda” kata ayah menjelaskan.

“ baik yah, aku sudah paham”.

“ mengendarai sepeda itu harus jaga keseimbangan” lanjut ayah.

“ sepeda ini ada tambahan roda ya yah?” Tanya arjuna kecil.

“ iya ini untuk pengaman tambahan, tapi kalo kamu sudah terampil kamu tak perlu menggunakanya”

“ nanti sore ya yah, dihalaman rumah itu ajari aku”.



Sore itu, dihalaman rumah milik pak darno, ia salah seorang tetangga yang baik hati dan memiliki halaman cukup luas untuk digunakan dab nenukuju halaman cukup luas untuk digunakan. Halaman itu memang masih luas, belum dibangun rumah, jarang sekali orang punya halaman luas.



Sore itu, dihalaman. Dinaikilah sepeda itu

“ sudah siap?” Tanya ayah.

“siap ya”

Didoronglah sepeda itu sambil dikayuh sepeda oleh arjuna.

“ yah aku bisa yah” begitu bahagianya

“ kalo sudah bisa nanti ayah lepas yah” dilepasnya dorongan sepeda itu, tapi sepeda yang dikayuh arjuna menjadi lebih cepat, arjuna tak bisa menghentikanya kemudian akhirnya

“bruk!!”

Sepeda itu terjungkal dan arjuna berguling diselokan rumput-rumput tapi taka da airnya. Untungnya selokan itu landau hanya 30cm dan ditumbuhi rumput-rumput. Lukalah kaki dan sedkit tanganya, luka tak seberapa. Tapi lebih banyak sesak didada karena harus bergulingan ditanah dan ditambah tertawaan beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu.



Di berdirikanya arjuna
“ ada yang luka?” Tanya ayah.

“ ini yah” sambil menunjukan luka dikakinya. Hanya beset luka sedikit taka apa-apa kemudian ditiupnya luka itu dan dibilangnya sepatah dua patah kata penyemangat “ tak apa-apa, belajar sepeda itu jatuh hal biasa, yang penting bangkit lagi dan belajar lagi sampai bisa”



Kemudian, diangkatnya badan arjuna diberdikianya dengan kokoh, dibersihkan kotoran dari badan, rumput-rumput dan taah dicelanaya pendek itu dibersihkan ditepuk tepuk.



Mata anak kecil itu barang mungkin umurnya masih 8 tahun, matanya memerah merasa ingin menangis, tetapi ditahan dan dilupakanya. Ia tak ingin dilihat lemah karena menangis, anak laki-laki berjua kuat tak boleh menangis karena jatuh dari sepeda, boleh menangis kecuali kehilangan orang yang disayang itu pun hanya sebentar.

“kita belajar lagi ya, memang jatuh itu hal wajar, ayo belajar lagi kamu harus bisa mengatur sepedamu rem dan stang harus kokoh, mengerti?”

“ tapi aku takut jatuh lagi yah” kata arjuna kecil.

“ tapi aku takut jatuh lagi yah”

Matanya memerah dan meneteskan air mata. Tetesan karena sakit , malu dan takut karena jatuh.
“ tidak perlulah kamu takut, ayah selalu ada menemanimu”

Seolah lupa dengan kejadian terjungkalnya diselokan tadi, kayuhan sepeda itu menjadi lebih stabil, beberapa kali dilepasnya dorongan dan dikayuhnya sendiri oleh arjuna, setelah 10 kali berputar akhirnya ia berhasil mengayuh dengan baik dan bisa mengendalikan sepeda itu.



Ah, betapa beruntungnya arjuna memiliki ayah seperti itu, barangkali jika tak ada ayah seperti itu bisa jadi sudahlah trauma diri untuk tidak mau lagi mengendarai sepeda. Tetapi, ayah yang menguatkan dan mengajarkan untuk tidak takut menghadapi kegagalan, untuk terus belajar dan belajar hingga akhirnya berhasil.










[U1] PERTANYAAN.



Masjid ini, sebuah masjid yang memperkenalkan arjuna dengan bacaan alquran. Masjid yang menjadi saksi atas kegigihanya dalam mempelajari alquran. Setiap sore, sejak usianya 5 tahun ia selalu kesini, belajar mengaji dengan paman Ibrahim.



Dikenalnya lah huruf-huruf itu huruf yang sejatinya tak begitu asing baginya, garis-garis dan tanda baca itu. Sering sekali ia disalahkan oleh paman Ibrahim karena .

Masih ingat betul saat itu umur 7 tahun, ia belajar di masjid ini. Mengenal betapa bodohnya ia, dalam hatinya ia bertanya mengapa Allah menciptakan alquran dengan Bahasa arab, bukan Bahasa Indonesia saja Bahasa yang mudah dimengerti olehnya.



Setelah mengaji itu, ia bertanya kepada paman.

“boleh saya bertanya?”

“ya silahkan”

“mengapa alquran ditulis dalam Bahasa arab ?”

“ arjuna, Allah menurunkan Alquran sebagai mukzizat ini adalah kehendaknya untuk menggunakan Bahasa arab. Dan sampai akhir hayat nanti alquran akan kekal terawatt dan tak akan tergantikan. Semuanya atas izin dan kehendak Allah, sebagai manusia kita boleh bertanya “mengapa” tetapi, hakekatnya kita tak boleh protes, Begitulah allah menakdirkan sesuatu.”



“apa itu takdir ya ayah?”

“takdir itu ada 2, pertama adalah ketetapan Allah wazzala yang menetapkan tentang segala sesuatu yang tak akan bisa kita rubah. “

“apa saja contohnya?”

“ ada 3perkara bagi kita yang telah ditentukan oleh Allah yaitu, lahir, jodoh dan mati”

“lalu yang kedua apa yah?”

“ yang kedua adalah takdir yang masih belum ditentukan.”

“maksudnya belum ditentukan?”

“ ya, itu sebagai manusia kita boleh menentukan jalan hidup kita, mengenai bekerja, mengenai menjadi siapa kita, Allah telah memang menuliskan semua itu di lauh mahfuz, tetapi Allah memperbolehkan kita untuk bekerja lebih giat untuk merubah nasib kita, ingatkah kamu tentang sebuah surat yang berbunyi “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali ia merubahnya terlebih dahulu” begitu arjuna”

“oh, jadi untuk urusan menjadi apa kerja kita boleh memilihnya ?”

“benar sekali”

“lalu, bagaimana aku bisa merubah nasibku yah?”

“pertama kamu harus belajar lebih banyak, dan kedua berusaha lebih banyak, ketiga berdoa kepada Allah lebih banyak”



Pertanyaan itu, menjelaskan semuanya. Mulai sejak itu ia berkeingnan merubah nasibnya untuk menjadi lebih baik, tak seperti orang tuanya yang meninggal dilautan, yang hidup miskin karena susah mencari uang. Semenjak pertanyaan itu, ia menjadi lebih rajin untuk belajar menjadi lebih rajin untuk ke masjid. Ya, hanya karena keinginanya untuk tak ingin hidup seperti kesusahaan orang tuanya dahulu, ia ingin lebih baik.



Selepas sholat isha di masjid arjuna kecil selalu menyempatkan belajar pelajaran pelajaran disekolah. Ia tak seperti anak-anak di sinetron tv yang ia sering tonton selepas magrib, yang sekolah di tempat mewah dan seragam yang bagus. Kisah-kisah itu tak menarik baginya.



Memang arjuna bukanlah anak yang cerdas karena punya IQ diatas rata-rata, ia hanya anak nelayan yang gigih mencari ilmu, seperti orang tuanya yang gigih mencari ikan dilautan. Belajar mengenai hitung-menghitung memang sangat sulit bagi arjuna. Sesekali ia datangi rumah gurunya untuk bertanya mengenai pelajaran sekolah yang diajarkanya. Yah, namanya sekolah didesa mana mengenal les privat dengan guru pribadi, yang bisa ia lakukan yah bertanya kepada gurunya.



Begitulah, kisah perjuangan arjuna untuk meraih cita-citanya, hanya karena ia tak ingin seperti kedua orang tuanya yang tak mengerti hitung hitungan rumit, ia ingin menjadi lebih baik.



Suatu siang saat ia berada dikelas 4, ia sangat sulit sekali untuk memahami rumus segitiga.

Dikelas itu,

“ bu bisa dijelaskan lagi tentang rumus luas segitiga?”

“ ya arjuna. Segitia ini memiliki 3 sisi, untuk menghitungnya kita perlu panjang salah satu sisi dikali tinggi dibagi 2”

“mengapa di bagi 2 bu?”

Ibu guru itu, bu siti aminah juga bingung mengapa rumus segitiga itu dibagi 3, dan sebenarnya ia juga bingung menjalaskan kepada arjuna. Anak lain biasanya hanya menerima rumus itu dan menelanya mentah-mentah, tetapi arjuna tidak seperti mereka, ia penasaran mengenai rumus itu. Selalu ada pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan ini tak boleh dijawab sembarangan.

“baik, begini arjuna, kamu tahu bentuk segitiga ?, bantuknya seperti ini bukan ?” sembari menggambarnya di papan tulis.

“ lalu, apabila kita gambar segitiga yang sama dalam cerminan segitiga ini, kita akan membentuk sebuah persegi”

“nah , sekarang kamu tahu rumus persegi?”

“panjang kali lebar bu”

“ nah, apabila kita hitung maka luas segitiga ini adalah setengah dari luas persegi ini. Oleh karena itu rumus segitiga itu dikali setengah. “



Begitulah arjuna yang selalu ingin tahu dan terus belajar lebih giat.


PERTEMANAN.



Kisah ini terjadi pada masa arjuna beranjak dewasa. Saat ini umurnya sudah menginjak 17 tahun. pada kebanyakan umur segini masih berada di sekolah menengah pertama kelas 2 SMA. Ya, memang arjuna sedang berada di sebuah sekolah menengah pertama di kecamatan yang ia tinggali. Ya hanya ada satu itu sekolah menengah pertama di daerah pesisir pantai ini. Tak ada yang perlu di sedihkan, meskipun dibuat sekolah banyak-banyak tetap saja sekolah menengah ini tak banyaklah yang berminat untuk masuk. Anak nelayan memilih melaut dari pada pergi kesekolah menengah buang-buang waktu tak menghasilkan uang malah menghabiskan uang. Sekolah ini pun tak seberapa luas dan tak seberapa banyak muridnya barangkali hanya 2 kelas setiap angkatan masing-masing kelas 30 siswa. Ah, terlalu sedih jika menceritakan tentang sekolah ini dan tentang kisah murid-murid yang berjuang untuk sekolah.



Lain dari pada itu, arjuna dibesarkan dari keluarga yang berayah pendidikan tinggi meskipun seorang ibu yang juga tak bersekolah walaupun juga mereka bukanlah ayah kandung tapilah didikan yang menjadikan arjuna mau melanjutkan sampai sekolah menengah pertama. Barangkali jika ayahnya yang seorang nelayan masih hidup ia hanya akan sampai bangku smp kemudian ia pergi melaut setiap hari sama seperti kebanyakan teman-teman sebayanya. Sebenarnya juga dalam hati ia menyukai pergi kelaut mencari ikan, dilihatnya mereka nelayan itu melaut membebaskan diri dari segala hiruk pikuk, membebaskan diri dari kertas dan tulisan yang berlembar-lembar dengan pikiran dan tugas-tugas belajar di sekolah. Ah, sepertinya bebas sekali.



Disekolah ini, ia mengenalah seorang wanita sebayanya, seorang anak ulama juga dari kecamatan lain yang juga bersekolah disitu. Aisya namanya. Seorang anak yang lahir dengan ayah dan ibu sempurna menurut arjuna. Ayahnya seorang alim ulama berpendidikan tinggi dari ibukota, ibunya juga seorang guru yang berperangai baik budi perkerti dan juga pandai mengajar. Ah, rasanya iri melihat aisya yang begitu sempurna di mata arjuna. Yang lebih lagi aisya dengan seragam sekolah yang selalu Nampak putih bersih itu dengan jilbab yang lebar dan menutupi auratnya, begitu mencerminkan kesungguhanya sebagai manusia dan sebagai wanita yang menjaga diri dari serta mengikuti kewajibanya sebagai hamba tuhanya. Lebih-lebih lagi aisya disenangi banyak kawanya karena ia juga anak yang baik serta murah senyum, ah, bertambah iri hari pula arjuna setiap bersapa dipersimpangan pintu gerbang setiap berangkat sekolah.



Aisya, tak seperti gadis-gadis pinggir pantai yang berkulit sawo coklat, aisya lebih putih sedikit, kuning langsat istilah yang tepat menggambarkan warna kulitnya. Apalah rahasia dari kulitnya pikir arjuna dalam hati, apakah dia suka mandi di kolam susu, mungkin dia perawatan kulit. Ah, makin meracau pikiran arjuna setiap berpapasan, sesekali bertegur sapa lewat senyuman, Arjuna tak melanjutkan pembicaraan kecuali benar-benar lah penting bila urusan tugas sekolah, ya seperlunya saja. Arjuna tak pernah menunjukan keirihatinya terhadap aisya, tapilah tetap saja namanya juga lelaki, arjuna tak begitu pandai menyembunyikan rasa iri hati yang menjadikanya begitu kagum pada aisya.



Saat itu, pelajaran olahraga. Setiap murid berpakaian olahraga khusus yang menjadi seragam sekolah pada kebanyakan sekolah yang sama bahan kainya hanya berbeda tulisan pada bagian kakinya dengan bertuliskan nama sekolah mereka. Seragam itu berwarna biru laut sedikit lebih gelap. Atasan seragam itu kaos berkerah, dari bahan katun yang menyerap keringat. Jam olahraga dimulai. Setiap murid berbaris dihalaman sekolah.

Saat itu pelajaran olah raga. Pak rudi sebagai guru olahraga hari ini mengajarkan tentang lari estafet, lari jarak menengah dengan membawa tongkat kecil yang diserahkan ke pelari berikutnya pada jarak tempuh tertentu hingga 2 atau 3 bahkan 4 orang dalam satu rute.



“Baik anak-anak, hari ini kita akan belajar lari estafet kelompok” kata pak rudi berdiri diantara barisan yang rapi rapi dengan seragam olahraga yang warnanya sudah mulai memudah karena sering dijemur di bawah matahari.

“ 1 kelompok terdiri dari 4 orang. Terdiri dari 2 wanita dan 2pria”

“baiklah, kita pemanasan terlebih dahulu, kita putari lapangan 5 kali dulu ya. Siap!!” lanjut pak rudi.

Begitulah kemudian dibagilah kelompok diantara 30 siswa tersebut. untunglah tepat ada 7 kelompok karena ada 2 wanita yang sedang sakit perutnya karena suatu hal, biasalah perempuan yang beranjak dewasa memang berbeda rasanya. Pak rudi juga membolehkanya tak ada yang melarang, siapa juga yang bisa melarang itu urusan perempuan. Mereka duduk dipinggir halaman sekolah sambil menonton yang lain bercucuran keringat memutari lapangan.



Mungkin memasuki putaran ke 4 terjadilah kehebohan karena ada seorang murid yang tetiba jatuh. Kagetlah arjuna, karena murid itu jatuh tepat didepan arjuna, kakinya terkilir, dan ia tak bisa berdiri. Ternyata itu aisya, mengadu-adu sambil memegangi kakinya yang sakit.

“ pak ada yang terkilir “ teriak seorang murid meminta bantuan pak rudi.

“ oh, ya sudah kamu arjuuna tolong bantu dia ke UKS, ajak dua murid itu yang dipinggir lapangan ikut. Kemudian dibantulah dan ditatihnya aisya ke ruang UKS, untuk diistirahatkan. Kemudian pak rudi meminta dua orang perempuan yang duduk dipinggir lapangan tadi untuk menunggui aisya tadi diruang UKS.
“kamu arjuna, kamu juga bantu carikan minyak gosok untuk mengurut kaki aisya” pinta pak rudi.

Segera kemudian arjuna mencari di kotak p3k, disana adalah minyak gosok yang dimaksut.

“ pak, kaki saya terkilir” adu aisya ke pak rudi dengan muka memelas.

Diruang UKS. Pak rudi mengurut kaki aisya, memanglah pak rudi paham benar mengenai cara mengurut kaki yang terkilir, pada umumnya kaki yang terkilir harus diluruskan terlebih dahulu barulah boleh diurut atau dipijat, jika salah malah-malah bisa jadi makin sakit dan memar. Setelah pak

Begitulah Pertemuan itu, bisa jadi ini memang kehendak tuhan, agar mereka saling mengenal lebih dekat. Bertegur sapa lebih








Perpisahan itu.



Suatu ketika d akhir perjumpaan antar siswa, diakhir usia pembagian rapor dan tanda kelulusan. Waktu itu dibacakanlah hasil ujian nasional dan terdiri dari beberapa ranking kelas 2. Arjuna seperti biasa berada di urutan teratas dalam jejeran nama yang disebut. Kemduian nomor 2 ada aisya.

“ah iri sekali aku dengan arjuna, apa yang ia makan? Sepertinya ia memang pintar sejak lahir” bukan karena apa yang ia makan padahal yang ia makan samalah seperti mereka. Sedangkan tentang aisya, yang lain hanya memberi selamat atas pencapaianya.



Memanglah kehidupan arjuna terlihat mulus mulus saja seperti tembok yang baru saja di cat. Tapilah dibaliknya masih ada batu-batu pasir dan kerikil yang menjadi satu tertutupi oleh kehalusan cat dan kapur putih.

Setelah semua rapor dibagikan, arjuna kemudian mendekati aisya dan mengucapkan selamat atas peringkat kedua yang diraihnya
“selamat ya aisya,”

“aku seharusnya bisa ranking 1, aku sudah belajar dengan tekun selama semester terakhir ini, tapi malah kamu yang mendapatkanya, ah tapilah ini lah sudah sangat ku syukuri, kamu memang pantas mendapakanya, kamu lebih banyak belajar dari aku,, kamu layak untuk mendapatkanya arjuna”

“ terimakasih aisya, aku hanya berusaha”

“ nanti sore jika kamu tidak keberatan aku ingin kamu ikut aku” pinta arjuna.

“ikut kemana?”

“ada suatu tempat yang aku ingin tunjukan, tidak jauh dari sini, kita bertemu pelelangan ikan, dekat pasar, aku tunggu kamu di pos timbang” pinta arjuna.

“baiklah, jam 4 sore aku disana” balas aisya.

Setelah rapor selesai dibagikan kini semua murid dipulangkan, sebagai tanda dimulainya liburan semester ini. Kurang lebih mereka libur hingga 3 minggu. Liburan kali ini juga berbeda karena pada 3 hari setelah libur jadwal puasa Ramadhan dimulai. Terasalah begitu menyenangkan karena nanti ketika masuk beberapa hari kemudian mereka akan libur lagi memasuki hari raya idul fitri. Ah, masa-masa yang begitu menyenangkan tanpa tugas dan tanpa pekerjaan rumah.

***

Waktu menunjukan pukul 4 sore, waktu yang dijanjikan oleh aisya bertemu di pos penimbangan hasil tangkapan ikan, mereka berdua juga telah mengatui tempat itu, tempat yang setiap orang di kecamatan tersebut juga mengetahui, tempat paling ramai dari semua desa, bahkan ramainya mengalahkan sura-surau atau bahkan dipasar tradisional lainya, walaupun disini hanya menjual ikan, tapilah disitu letak keramainya.

“assalamualaikum, aisya, sudah lama kamu menunggu disini?” Tanya arjuna yang datang dari arah lain.

“walaikumsalam, belum juna, baru beberapa menit, aku juga senang melihat orang menimbang ikan sore seperti ini.

“ kamu tepat waktu, “ kata arjuna.

“oh tentu, aku sekarang tak ingin kalah dari mu” jawab aisya.

“ ayo, kita pergi” pinta arjuna.

“ kemana kita arjuna “ Tanya aisya.
“ kita akan ke bukit batu pinggi pantai” kata arjuna.

Kemudian mereka berjalan, menuju bukit batu tidaklah begitu jauh, sampailah mereka disana, 15 menit kurang perjalanan dari pos penimbangan ikan. Diperjalanan pun taka da perbincangan apapun, mereka hanya memperhatikan jalan, yang berpasir dan berbatu, memanglah disini lebih banyak batu karang dibandingkan jalan aspal, juga lebih banyak pasir dibandingkan tanah, namanya juga dipinggir pantai.

Sampailah mereka di puncak batu karang, yang ada hanyalah pemandangan pantai lepas dan dari kejauhan terlihat kapal-kapal nelayan yan gmulai menepi dan beberapa mulai berangkat ke lut. Kapal yang meneppppppi merupakan kapal nelayan yang berangkat pagi yang pulang sore, sedagkan yang lain yang berangkat sore pulang pagi begitulah sepertinya langit telah memberi jadwal shift kerja bagi nelayan, tak seperti jaman dahulu memang yang mengandalkan angina laut dan angina darat, untuk perjalanan kapal nelayan sekarang lbeih menggunakan tenaga dari minyak bumi yang diisikan dalam mesin diesel, mengeluarkan tenaga yang menggerakan piston dan memutar baling-baling kapal, sehingga tak lagi mengandalkan angin laut. Tapi bukanlah ini inti dari mereka menuju ke bukit batu ini,



“ apa kamu pernah kesini sebelumnya aisya?” Tanya arjuna.
“belum pernah, wah luar biasa sekali pemandanganya langit sore ini, dan pantulan cahaya matahari diatas air laut, benar-benar menajubkan”. Jawab aisya.

“ kamu tahu, selama aku belajar disekolah aku mendapatkan ranking pertama” kata arjuna.

“ ya aku tahu, kamu memang terlahir sebagai anak yang pintar arjuna” jawab aisya, dengan nada yang kesal.

“ kamu tidak tahu aisya” arjuna membalasnya dengan melihat ke mata aisya dan aisya pun terdiam menatap balik.

“ aku dilahirkan dengan berbagai kekurangan, lihatlah kesana” menunjuk laut lepas.

“ disanalah kedua orang tua ku, disanaaku terlahir dari keluarga yang miskin harta, tapi cinta orang tua ku melimpah, kau ahu. Sejak aku mengenal hitung dan menulis aku mulai sadar, bahwa aku tak ingin seperti mereka yang hidup dengan kekurangan ilmu”

“ maap kan aku arjuna, aku tak bermaksud”

“ aku tahu, jika aku tak belajar dengan giat dengan rajin aku akan seperti nasib kedua orang tuaku itu, mereka yang hanya bisa kukenang dalam doa ku, aku ingin lebih baik dari pada itu, apa kamu paham?”

“ maksudmu?”

“ ayah dan ibu kandungku telah meninggal saat aku berusia 5 tahun, mereka seorang nelayan yang mencari ikan, dan laut lah yang menghmpaskan mereka hingga sampai kesyurga”.

“maap kan aku arjuna, aku tak bermaksud untuk menyingung itu, aku benar-benar tidak tahu”

“ sekarang kamu tahu bukan?” kembali menatap mata aisya yang mulai berkaca-kaca.

“ aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa aku ini hanyalah anak dari seorang nelayan yang belajar dengan giat hingga aku bisa mencapai apa yang aku cita-citakan, aku tak berpasrah pada nasib yang membawaku, ku harap kamu juga bisa mengerti itu”

“ baiklah arjuna, aku mengerti sekarang, terimakasih atas pelajaran dari mu” kembali wajah aisya menjadi ceria kembali, seperti mendapat semangat baru.



***




Pesan Ibu guru.



Setelah kelulusan SMA kini saatnya beberapa siswa untuk melanjutkan jenjang berikutnya, keperguruan tinggi atau menyudahi dan memilih bekerja mencari uang atau penghidupan baru.



Ya, begitulah pilihan logis untuk mereka anak nelayan yang hanya mengandalakan lautm biaya kuliah di perguruan tinggi terlalu mahal tak terjangkau oleh kail dan jala. Mereka lebih memlih bekerja untuk orang lain dengan bermodal ijazah sma, ada yang melamar menjadi pegawai suruhan ada juga yang beruntung menjadi juru tulis atau administrasi dikantor tetapi tetap saja jadi pegawai pesuruh, kadang hidupnya tidak tenang karena terus dimarah dan dikomentari oleh atasanya, yah namanya juga bekerja pada orang lain. Ada juga yang melanjutkan perjuangan bapak ibunya, bergelut dengan kail dan jala lagi, tapi bedanya ia telah mengerti baca tulis hitung menghitung dan sedikit Bahasa asing. Lalu untuk apa Bahasa asing dilaut? Ya, siapa tahu jika nanti dilaut lepas ia bertemu turis dari amerika atau Negara lain, jika ditanya tentang sesuatu bisalah ia menjawab. Semua itu bisa disebut pilihan logis atau ya sekedar berpasrah kepada nasib, tapi takadalah raut wajah mereka menunjukan kesedihan, beberapa memilih hidup melaut karena bebas dari status “pesuruh”, meski kerja lebih keras dengan hasil yang pasrah dan tak tentu pula, mereka lebih memilihnya karena itu yang terbaik menurutnya.



Dipembagian rapor terkahir itu, disekolah menengah pertama ini, bu guru yang juga walikelas satu-satunya dikelas 3, bu umi, mengumumkan hasil ujian akhir sekolah.

“Selamat kepada murid-murid kelas 3, kalian dinyatakan lulus semua!!”



Suasana kelas yang tenang berubah menjadi riuh, isak tangis bahagia menyellimuti mereka, ah rasanya baru kemari memasuki sekolah ini, sepertinya baru kemari mengenakan seragam putih abu-abu ini, seolah waktu begitu berlalu cepat tak terasam. Tapilah, 3 tahun bersekolah di disini bukanlah waktu yang ingin diulang, cukulah dikenang menjadi masa yang indah.



Beberapa orang murid yang benar-benar bisa melanjutkan kejejang perguruan tinggi bisalah dihitung. Disana mereka mencari pengharapan dan kesempatan juga mencari penghidupan yang lebih baik, tak banyak juga orang tua yang memahami betapa pentingnya melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi, lain itu juga faktor utamanya adalah biaya, begitu beruntungnyalah mereka.



Kuliah diperguruan tinggi memanglah seperti berjudi, yang dibilang berjudi itu seperti karena untuk kesana taruhanya tak sedikit, adalah yang harus menjual tanah warisan kakeknya, ada pula yang menjual ternak-ternak sebangsa sapi yang telah dipeliharanya bertahun-tahun, ada juga yang berhutang demi membiayai mereka sampai ke perguruan tinggi, ah betapa dosanya judi ini. Inginya tidak berjudi tetapi biaya di perguruan tinggi jelas dikota tak ada yang gratis, semuanya bayar, dibayar dengan uang, taka da yang dekat dari pantai sini, mau tak mau mereka harus menginap dikamar sewa, belum lagi perlengkapan ini itu, beli ini beli itu diluar dari biaya pembayaran sekolahnya yang juga cukup mahal. Ah, tapilah jika dihitung tak akan cukup seberapapun uang yang kamu miliki, semua itu bisa cukup karena niat dan perjuangan yang dilakukan. Pernahkah mendengar kisah-kisah mahasiswa yang gagal lulus karena masalah remaja jaman sekarang, ah begitu besar taruhannya kuliah di perguruan tinggi apalagi jauh dari pengawasan orang tua.



Masih diruang kelas yang hiruk pikuk dengan suasana tangis kebahagiaan karena kelulusan yang mereka raih. Adalah kegiatan setelah itu yaitu penyampian pesan walikelas,

“ anak-anaku yang ibu cintai, sudahlah waktunya kalian untuk melanjutkan perjuangan, ingatlah bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajibm bahkan sampai keliang lahat dan mencari ilmu tak haruslah melalui jalan pendidikan dibangku seperti iini, kalian memiliki jalan sendiri-sendiri, gunakanlah itu jadikanlah bekal. Yang terpenting bahwa hidup ini hanya sekali, maka syukurilah dan pergunakan sebaik-baiknya,. Selamat atas kelulusan kalian, ibu selalu mendoakan kalian yang terbaik, semogalah tercapai apa yang kalian cita-citakan, jikalau kalian nanti jadi orang berhasil, jangalah lupa dari mana kalian berasal.:” begitulah pesan yang disampaikan oleh bu umi, guru terbaik.



Begitulah sebagian murid semakin terisak keras tangisnya mendengar kalimat perpisahan dari bu umi, apalagi yang perempuan-perempuan, mendengar itu serasa terngiang-ngiang ditelinga.



Setelah semua selesai dibagikan rapor mereka kemudian berfoto bersama di halaman sekolah, yah begitulah akhir perjalan mereka di disekolah ini, halaman sekolah yang satu-satunya menjadi saksi atas perjuangan mereka, canda dan tawa, isak tangis, dilemma dan lain sebagainya telah banyak yang mereka lalui bersama.



Kini, perpisahan.



Sudah menjadi adat di sekolah ini, mengadakan syukuran atas kelulusan semua muridnya. Orang tua dan guru semua diundang, murid laki-laki mengenakan kemeja batik dan murid perempuan mengenakan kebaya jawa, ah sungguh cantik dan tampan-tampan sekali mereka. Sudah cocok lah mereka menjadi orang-orang dewasa, meski umur mereka baru 17 tahun lebih sedikit.



Setelah berfoto bersama , kemudian arjuna dan aisya berbincanglah sedikit, dibangku halaman dibawah pohon rindang,

Setelah mereka duduk, hembusan nafas itu ah…. Melegakan, tanda beban yang mulai meringan.

“hendak kema kamu arjuna setelah ini?” Tanya aisya.

“ aku ingin pergi kesekolah tinggi, aku ingin membangun kapalku sendiri” jawab arjuna.

“ah, aku tak bisa berkata, sangatlah besar impianmu” balas aisya.

“bagaimana dengan mu?”

“ aku akan melanjutkan ke perguruan tinggi islam, aku ingin menjadi guru ngaji” jawab aisya.

“ luar biasa sekali niatmu aisya, semoga Allah meridhainya” kata arjuna.

“ akankah kita bertemu lagi arjuna?”

“ ya, jika Allah memang memberi kita kesempatan kita untuk bertemu” jawab arjuna dengan tegas, sejatinya iya juga menginginkan pertemua kembali itu, tapilah ia hanya bisa berpasrah.

“ arjuna, boleh kah aku memberikan mu ini” kata aisya, sembari memberikan sebuah kotak hadiah dan dihiasi pita.

“ tolong diterima, dan disimpan, sebagai tanda pertemanan kita, jika suatu saat nanti kita akan bertemu lagi, sapalah aku arjuna, aku akan selalu senang membalas sapaan mu” kata aisya.

“ terimakasiha isya” muka menjadi merah pada, ah susah menjelaskan rasa suka tanpa berani mengungkapkanya, sebenarnya hati arjuna pun diliputi kesedihan jika harus berpisah dengan aisya, seorang yang kagumi bisa jadi yang ia sukai,.

“ aisya”

“ ya arjuna”

“ tak adalah yang bisa aku berikan padamu kecuali ini” ia mengambil pena khusus untuk tanda tangan, pena itu pemberian ayahnya sebagai hadiah kelulusan tetapi malah ia berikan kepada aisya.

“ ini pena khususlah untuk tanda tangan, siapa tau kau mengingatku jika kamu melihat pena itu, pena ini sangat mudah digunakan, tintanya pun sangat mudah diisi ulang dan digenggampun sangat nyaman”

“ juna!!” ditepuklah pundak arjuna oleh aisya

“kenapa kamu jadi seperti sales, haha” mereka pun tertawa.

“ maapkan aku, aku juga ingin memberikan mu ini” sembari memberikan sebuah buku catatan kecil dari sakunya.

“ buku ini memang sudah lama aku tulis sejak aku mulai mengenalku”

“mengenalku?”

“ ya, nanti kamu baca sendiri dirumah ya, oh ya sebelum itu akan ku tanda tangani dibuku ini khusus untuk mu”



Terkhusus untuk adinda aisya.

Tertanda, Arjuna.



Yah, begitulah kisah perpisahan mereka berdua sebuah kisah antara dua insan manusia yang saling menyukai dalam doa. Kisah mereka tertulis dalam lembar-lembar yang tercatat begitu apik tanpa noda tinta. Tak pernah ada dari keduanya benar-benar mengungkapkanya secara terang-terangan, mereka berdua memendamnya dengan rapi, tapilah mereka menyadari bahwa cinta itu seperti bisa ular, jika sudah terkena dapat menjadi racun, tapi juga bisa menjadi penawar gigitan ular lain. Oleh karena itu mereka memlih menjaganya dalam doa, biarlah tuhan yang mempertemukan cinta mereka berdua nanti tepat pada waktunya.