29 Hari - cerpen
Waktu
itu hujan turun cukup deras. Seharusnya kami sudah berada dirumah masing
masing. Kami terjebak hujan. Hujan memenjarakan kami di ruang kelas ini. Aku,
dia dan mereka, sepertinya enggan membasahi diri dengan guyuran hujan. Bel
pulang sekolah sudah berbunyi sejak 5menit yang lalu. Tapi tak ada satupun
siswa yang beranjak dari kelas. Hujan semakin lebat.
Beberapa
siswa saling berbicara satu sama lain. aku juga berbicara, berbicara pada
hatiku. Aku hanya berbicara dengan frekuensi tertentu dan amplitude yang tak
semua orang bisa mendengarnya. Beberapa saat kemudia, dia menyapaku. Seseorang
yang duduk dibelakang kursiku. Seorang laki laki menanyakan kenapa aku tak
pulang. Pertanyaan aneh, dengan jawaban yang sudah pasti. Bahkan tak ada
satupun yang keluar kelas, termasuk ibu guru. Semuanya menunggu hujan
reda. Aku jawab dengan jawaban yang secukupnya. Aku menghiraukanya. Aku dan
teman sebangkuku saling berbincang. Kenapa hujan ini tak kunjung reda.
Beberapa
saat kemudian, dia mengajakku bicara lagi. Dia bertanya tentang tugas yang
kemarin, apakah aku sudah mengerjakanya apa belum. Pertanyaan klasik
siswa-siswa malas, ujungnya akan meminjam buku catatanku dan ntah kapan akan
mengembalikan.
Tapi
tetap saja aku jawab dengan jawaban seperlunya saja. Sudah . Dia kembali diam.
Aku kembali berbincang dengan teman sebangku ku, seorang wanita juga yang
seumuran dengan ku. Kami membicarakan tentang film korea terbaru. Apalagi yang
bisa kami bicarakan selain laki-laki tampan dan romantis yang ada di film
keromantisan dan ketakjuban kami terhadap para arti korea itu. Tak terkalahkan
dengan suara hujan yang semakin keras menghantam bumi. Suara itu tak asing lagi
bagi ku. Suara hujan.
Beberapa
detik kelas menjadi hening, tak ada suara, semua mendengarkan hujan yang turun
semakin deras. Mungkin bisa satu hinga dua jam kami berada disini. Terjebak
hujan. Kemudian kelas kembali ricuh. Semua saling berbincang, aku tak tau apa
yang mereka bicarakan, sepertinya obrolan tentang yang lain. aku tak tau.
Laki-laki
yang duduk dibelakangku, tertunduk diatas meja. Diam tak bersuara. Sepertinya
dia sudah kehabisan pertanyaan. Sesekali aku memperhatikan dia tanpa
sepengetahuannya. Kukira sudah tak ada lagi pertanyaanya dari, Tapi beberapa
saat ternyata ia kembali bertanya padaku. Besok pelajaranya apa tanyanya. Ku
jawab lagi dengan seperlunya, ku tahu dia pasti masih ingat pelajaran hari
minggu itu apa. Aneh. Laki-laki itu yang juga seumuran denganku, tertunduk
kembali. Seperti ada yang mengganggunya dalam lamunan khayalnya. Sepertinya ia
sedang begitu sedih, tapi aku tak menanyakanya, mungki pertanyaanku akan
membuatnya semakin sedih.
Ah,
sudahlah aku tak mau menghiraukanya. Dugaanku sebentar lagi ia pasti berbicara
padaku. menanyakan sesuatu yang sepatunya tak perlu kujawab. Dalam hatiku berkata
sekali lagi ia bertanya tak akan kujawab. Benar dugaanku, ia kembali berbicara
kepadaku. Namun kali ini ia tidak bertanya, ia berterimakasih. Aneh.
Terimakasih apa, aku tak mengerti. Ia mengulurkan sebuah buku catatan miliku
yang ternyata ia pinjam beberapa hari yang lalu. Aku tidak lupa. Hanya saja aku
tidak menagihnya. Aku berharap dia mengingat tanggung jawabnya mengembalikan
buku itu, karena buku itu bukan miliknya. Aku semakin bingung kepada laki-laki
ini.
“
Sama-sama “ jawabku. Aku kembali berbincang dengan teman sebangku ku. Kami
tidak lagi membicarakan artis korea, walaupun kami sepertinya tidak pernah
bosan tapi kami lelah. Lelah menunggu hujan yang tak kunjung berhenti.
Kembali
suara dengan nada yang sama bertanya kepadaku, tapi kali ini pertanyaanya
membuatku bingung. Sebenarnya aku tak inign menjawabnya. Ia bertanya seolah aku
begitu mengerti, tapi aku tak begitu mengerti pertanyaanya, dia bertanya
tentang perasaan kehilangan. Apa itu kehilangan, aku balik Tanya kepadanya, .
kehilangan seseorang yang kita sayang tanyanya. Aku terdiam. Ntahlah aku tak
mengerti apa yang harus kukatakan. Sepertinya kali ini begitu serius, aku bisa
melihat dari tatap matanya. Dia seolah benar-benar kehilangan orang yang ia
sayang. Sepertinya matanya berbicara kepadaku dan meminta membuatnya mengerti
apa arti kehilangan. Sebenarnya aku tak ingin menjawabnya. Pertanyaan itu
begitu sulit bagiku. Aku tak mengerti rasanya kehilangan. Kehilangan yang ia
maksud, kehilangan orang yang ia sayang.
Kucoba
jawab pertanyaanya. “ aku tak tau apa maksudmu, jika maksudmu kehilangan
seseorang yang kamu sayang, pasti sedih rasanya. Karena dia begitu berharga
bagimu. “. Sepertinya jawabanku ini begitu mengena baginya. Ia merasa teringat
oleh seseorang yang ntah siapa, pikiranya melayang jauh, terbang. Dia
berterimakasih kepadaku, dan kembali tertunduk.
Oh
hujan.., segeralah engkau pergi dan berganti dengan sinar mentari. aku tak mau
semakin lama disini, semakin banyak pertanyaan yang tak bisa ku jawab darinya.
Aku ingin pergi, namun aku pun terdiam. Seolah pikiranku teringat pada
seseorang yang dulu pernah membuatku merasa sakit hati. Laki-laki itu membuatku
patah hati. Aku kecewa padanya. Ia adalah seseorang yang tak pernah
menganggapku kekasihnya. Seseorang yang jarang sekali bertegur sapa denganku.
walaupun kami punya hubungan special tapi ia seperti tak mau menenemaniku dalam
sedihku. Seolah ia membiarkan aku selalu sedih sendiri. Dia sepertinya enggan
berbagi kesenangan denganku. aku heran kepada laki-laki itu, duapuluh sembilan
hari kami bersama. Tapi apa yang kami lewati berlalu begitu saja. Setelah
sekian lama ia mencintaiku dengan caranya. Pada hari ke dua puluh sembilan ia
meninggalkanku.
Aku
hanya berpikir laki-laki itu pasti memiliki wanita lain yang begitu juga ia
kasihi, tapi setiap ku bertanya kepadanya ia menjawab yang membuatku semakin penasaran
dan seolah aku yang menjadi korban. Aku heran kepadanya. Dia laki-laki tak
pernah mau membuatku melupakanya, bahkan ia berkata padaku menicintai aku pun
tak pernah. Selama dua puluh sembilan hari aku seolah disiksa olehnya, setelah
bertahun-tahun ia menjadi orang yang begitu mengaggumiku dalam sisi gelapnya.
Aku tak pernah tau jika ia tak mengatakanya dua semebilan hari yang lalu.
Suara
hujan ini seperti nyanyian lagu yang begitu pilu, aku teringat denganya.
Laki-laki yang melupakanku dengan mudahnya. Tapi ia mencintaiku. Mencintai
dengan diamnya. Ia begitu misterius, bahkan sebelum dan sesudahnya. Banyak hal
yang setiap hari aku tanyakan kepadanya, terutama wanita lain itu yang
dikabarkan dekat dengannya. Kabar burung yang dari sahabatku sendiri aku
percayai itu, aku selalu menanyakanya kepadanya. Yang ku Tanya kepadanya,
adalah apakah ia benar-benar mencintaiku. Apakah ad wanita lain yang ada
dihatinya. Tapi kali itu ia menjawab dengan benar-benar tegas dia mencintaiku,
tak ada orang lain dalam hatinya. Aku sedih. Aku tak percaya olehnya. Aku
begitu merasa dibohongi saat ia bilang, terserah jika tak mau percaya padaku.
seolah aku yang mengharapkanya untuk mencintai aku. Aku bingung. Aku merasa aku
tak ada artinya lagi baginya, setiap kutanya jawabanya tak ada yang
meyakinkanku. Aku pun tak mengerti mengapa ia begitu kepadaku. Aku tak mengerti
mengapa, jangan tanyakan aku lagi. Aku merasa disakiti oleh orang yang aku
sayang. Tapi apa ia menyangangi aku sesungguhnya, pertanyaan itu kembali
muncul.
Hari
ke duapuluh sembilan, setelah beratur-ratus pertanyaanku tentang apa arti
diriku padanya, yang jawabanya seolah tak pernah pasti, setiap kutanya dia
mencoba mengalihkan perbincangan, ia seolah takut aku akan mengetahui hal-hal
yang ntah apa ia rasakan. Hari ke 29, ia sudah tak mengerti lagi harus menjawab
apa, semua pertanyaanku setiap ia jawab selalu saja menimbulkan masalah baru.
Krisis kepercayaan. Aku kehilangan. Ia katakana padaku, sudah cukup semuanya .
kita tak perlu lagi memiliki ikatan special ini. Anggap saja kita teman biasa.
Aku
menangis,. Air mataku menetes. Aku wanita, tentu saja aku tak mau mengatakanya
padanya .kalaupun aku mengatakan aku berkata seolah olah aku tak pernah
menangisinya. Baiklah jika ia mau seperti itu, semua jawabanya seolah tak
pernah buatku merasa yakin kepadanya. Dia selalu membuatku bingung dengan
keadaan ini. Tapi diakhir cerita ia kembali menegaskan kepadaku, bahwa tak ada
yang lain dihatinya.
Aku
tak mau mempercayainya. Dia selalu berkata membuatku pusing. Dua puluh sembilan
hari adalah bayaran yang tidak cukup pantas dengan bertahun-tahun sebelum ada
hubungan special ini. Aku kecewa kepadanya. Dia pergi.
Hujan
mulai reda, perlahan siswa-siwa keluar kelas. Termasuk aku. Tapi perasaanku
masih tertinggal dengan khayalanku tentang laki-laki yang pernah membuatku
merasa kehilangan. Laki-laki dalam hatiku ntah dimana keberadaanya . laki-laki
yang selama beberapa tahun, menebusnya dengan dua puluh sembilan hari.
4 comments
Write commentscieeee agan satu inii, cucok deeh ;) kyknya kmu blm follow blog ku jan dr akun yg ini..
Reply@njoop, sekedar menulis cerpen njoop, dari pada terkubur dalam pikiranku.
Replyudah aku follow blog mu..
twenty nine days, banyak sebenernya yang mau aku tanggapin dari smua ini
Replyditunggu kritik dan saranya..
Replyterimakasih atas kritik dan saran serta komentarnya yah, :) thanks,...